Kota
Tua Banten Lama adalah situs yang merupakan sisa kejayaan Kerajaan
Islam Banten. Letaknya relatif tidak jauh dari kota Jakarta sehingga
perjalanan dapat dilakukan sehari penuh tanpa perlu menginap.
Kota Tua Banten Lama dapat ditempuh sekitar dua jam dari Jakarta.
Keluar dari pintu tol Serang Timur, belok kanan, sekitar 11 km kemudian
kita akan mencapai Banten Lama.
Setelah kami memarkir mobil di area parkir yang dikelilingi
warung-warung kecil, kami menuju ke sebuah situs yang bernama Benteng
Surosowan. Dinding benteng dengan konstruksi batu bata merah dengan
campuran kapur itu terlihat megah. Rupanya ia masih menyimpan sisa-sisa
kejayaan masa lampau.
Situs ini dikelilingi oleh pasar yang dikelola oleh penduduk sehingga
kami harus berputar-putar dahulu untuk mencari gerbang masuk ke dalam
benteng tersebut.
Rentetan keluh kesah mulai bermunculan lagi saat kami mendapati bahwa gerbang besi ke dalam benteng tersebut terkunci!
Melihat beberapa warga memanjat dinding benteng tersebut, salah
seorang di antara kami pun turut memanjat. “Wah isi dalam bentengnya
bagus!” serunya setelah berhasil mencapai atas dinding benteng. Tapi
sisa dari rombongan pun hanya tersenyum simpul karena meragukan
kemampuan masing-masing dalam “pemanjatan ilegal” tersebut.
Salah seorang lainnya mengusulkan untuk melihat-lihat ke dalam Museum
Kepurbakalaan Banten Lama yang terletak tepat di depan Benteng
Surosowan, sekaligus mencari pemandu yang mungkin dapat membantu kami
dalam menjelaskan sejarah peninggalan Kerajaan Islam Banten tersebut.
Museum Kepurbakalaan Banten Lama
Tarif masuk ke dalam museum hanya Rp 1.000 per orang. Di museum ini
kami berkenalan dengan Pak Slamet, yang selanjutnya menjadi teman
perjalanan kami dalam menyusuri jejak sejarah Kerajaan Islam Banten. Pak
Slamet memandu dengan sabar, menjelaskan secara rinci sejarah Kerajaan
Islam Banten dengan menunjukkan foto-foto dan alat peraga yang terdapat
di dalam museum.
Saya menatap ke sekeliling dan merasa agak kecewa karena museum
tersebut tampak kurang menggugah dan kurang menarik. Benda-benda sejarah
yang dipajang tampak berdebu dan terlihat kurang terawat. Seorang teman
berceletuk, seharusnya museum ini dapat dijadikan lebih menarik apabila
dibuat semacam alat peraga visual yang menjelaskan secara jelas beserta
bukti otentik mengenai wujud bangunan keraton pada masa itu.
Dari beberapa sumber yang telah saya baca, ternyata memang sejarah
Kerajaan Islam Banten sejak abad ke-16 hingga abad ke-19 belum terkuak
secara detail hingga saat ini. Potongan-potongan sejarah Kerajaan Islam
Banten masih ditelusuri dan dikumpulkan oleh para sejarawan sampai detik
ini.
Namun secara keseluruhan, setidaknya museum tersebut telah memberikan
gambaran secara garis besar terhadap sejarah dan kehidupan sehari-hari
penduduk Kerajaan Islam Banten pada masa silam.
Situs Keraton Surosowan
Tak terasa akhirnya tur di dalam museum berakhir. Sekarang saatnya
tur yang sesungguhnya! Keluar dari museum, secara refleks saya langsung
mendongak ke arah langit dan takjub mendapati awan kelabu mulai bergerak
ke arah barat. Langit biru mulai terlihat di balik awan mendung. Karena
habis gerimis, angin terasa lebih sejuk dibandingkan saat kami baru
datang.
Dengan sumringah kami menuju Benteng Surosowan. Dan ternyata Pak
Slamet dititipi kunci oleh penjaga museum, dan akhirnya kami pun
berhasil masuk ke dalam benteng! Yippy!
Begitu gerbang dibuka, kami melihat sisa reruntuhan Keraton Surosowan
di dalam benteng. Walaupun berupa reruntuhan, tumpukan batu bata merah
dan batu karang tersebut masih tampak membentuk sebuah bangunan keraton.
Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa reruntuhan keraton seluas
sekitar 3,5 hektar ini dibangun pada tahun 1552 dan dulunya merupakan
tempat tinggal para sultan Banten. Benteng ini kemudian dihancurkan
Belanda pada saat Kerajaan Islam Banten di bawah pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa pada tahun 1680 berperang melawan penjajah Belanda.
Keraton ini sempat diperbaiki, tetapi kemudian dihancurkan kembali pada
tahun 1813 karena pada saat itu sultan terakhir Kerajaan Islam Banten,
Sultan Rafiudin, tak mau tunduk kepada Belanda.
Menurut Pak Slamet, dulu situs ini hanya tertutup gundukan tanah
hingga kemudian mulai digali dan dipugar kembali pada sekitar tahun
1970-an hingga kemudian perlahan-lahan tampak sisa-sisa reruntuhan
keraton tersebut.
Masjid Agung Banten
Setelah makan siang di warung dekat museum, kami mampir ke Masjid
Agung Banten untuk shalat. Terlihat berbagai macam pedagang bebas
berjualan di dalam masjid. Sayangnya, di sini berulang kali kami
dimintai sumbangan “tak resmi” sehingga akhirnya mengganggu kenyamanan
para pengunjung yang ingin beribadah.
Situs Istana Keraton Kaibon
Selesai beribadah dan foto-foto sebentar di depan Menara Masjid, kami
bertolak ke sisa peninggalan Istana Kaibon, tempat tinggal Ratu Aisyah,
ibunda Sultan Syaifudin. Reruntuhan ini masih terlihat (agak) lengkap
membentuk sebuah istana keraton. Di samping istana ini terdapat kanal
dan pepohonan besar. Saya bayangkan pasti dahulunya istana ini bagus dan
indah sekali. Namun lagi-lagi, istana ini pun dihancurkan oleh Belanda
pada tahun 1832 akibat peperangan antara Kerajaan Banten dan Belanda
pada saat itu.
Tujuan selanjutnya adalah ke Wihara Avalokitesvara. Menurut salah
satu sumber, wihara ini merupakan salah satu wihara tertua di Indonesia.
Keberadaan wihara ini diyakini merupakan bukti bahwa pada saat itu
penganut agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa
konflik yang berarti. Sungguh menarik.
Kondisi di dalam wihara ini sendiri sejuk karena banyak pepohonan
rindang dan terdapat tempat duduk yang nyaman untuk beristirahat. Pak
Slamet bercerita bahwa di selasar koridor wihara yang menghubungkan
bangunan satu dengan yang lainnya ini terdapat relief cerita hikayat
Ular Putih, yang dilukis dengan berwarna-warni sebagai elemen estetis.
Benteng Spellwijk
Puas berkeliling di dalam wihara, kami menuju Benteng Spellwijk yang
terletak tepat di depan wihara ini. Dan di depan wihara ini pula
terdapat kedai es kelapa muda yang menggiurkan. Sayangnya kami tak
sempat mencicipi karena terdesak oleh waktu.
Dahulunya Benteng Spellwijk digunakan sebagai menara pemantau yang
berhadapan langsung ke Selat Sunda dan sekaligus berfungsi sebagai
penyimpanan meriam-meriam dan alat pertahanan lainnya. Namun, tempat
tersebut saat ini hanya digunakan sebagai lapangan bola oleh para
penduduk. Di sana kami diajak Pak Slamet untuk masuk dan mengamati
sebuah terowongan yang katanya terhubung dengan Keraton Surosowan.
Di dalam kawasan benteng ini kami harus berjalan dengan hati-hati
karena terdapat banyak “peninggalan” dari kambing-kambing ternak yang
dibiarkan bebas merumput di sana.
Herajeng Gustiayu
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2010/11/20/11401238/Kota.Tua.Banten.Lama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar